Markamah, Ibu Guru yang Tak Lelah Berjuang di Sekolah Marjinal


Motivasi



Jakarta -

Namanya Markamah. Semangat perempuan berusia 46 tahun ini tak pernah padam untuk menyalakan lilin pendidikan di tempat-tempat marjinal. Mulai dari memberantas buta huruf di Marunda, mengajar anak-anak PSK di Jakarta Barat hingga kini menjalankan roda sekolah semi permanen yang dikepung asap-asap pabrik.

Perjuangan Markamah dimulai saat dia merantau dari tempat lahirnya, Lamongan, Jawa Timur, ke Jakarta untuk menempuh pendidikan pada 1982 hingga lulus sarjana dari IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta/UNJ, red). Setelah lulus, Markamah pernah membantu atau menjadi tenaga honorer di Depsos untuk memberantas buta huruf di Marunda, Jakarta Utara.

"Saat berkunjung di Marunda, saya merasa terketuk. Masih ada saja anak-anak yang nggak bisa belajar, pakai kolor doang main di empang tapi nggak bisa baca huruf dan nggak ngerti sama sekali," tutur Markamah mengurai awal kiprahnya.

Markamah ditemui detikcom di sekolah semi permanennya yang diapit 4 pabrik di Jalan Kramayuda, Kampung Petukangan, RT 10/RW 05, Rawa Terate, Cakung, Jakarta Timur.

Setelah dari Marunda, Markamah mengajar anak-anak pekerja seks komersial (PSK) di kawasan Jakarta Barat. Hingga akhirnya setelah berkelana keliling Jakarta untuk memberantas buta huruf, Markamah termenung memikirkan masa depan anak-anak bernasib serupa.

Lalu pada tahun 1985 ia bergabung dengan lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Bintang Pancasila, bersama rekan-rekanya ia membentuk sekolah rakyat di Kampung Pertukangan, Rawa Terate, Cakung.

"Apa yang saya cari ke sana-ke sini kemudian saya buktikan suatu saat ingin melihat anak-anak tersebut menjadi seseorang. Dahulu sekolah ini tidak seperti ini, hanya beralaskan tikar dan tanpa seragam," kisah Markamah.

Hingga ada Yayasan HDI yang membantu sekolah ini membangunkan kelas semi permanen. Tahun berganti tahun, langkah Markamah kembali terbentur. Ketika itu pemerintah tidak mengakui keberadaan sekolah tersebut sehingga para siswa tidak dapat mengikuti ujian nasional. Akhirnya pada tahun 2002 sekolah Bhinneka Pancasila bergabung dengan yayasan Al-Istiqomah.

"Kalau tidak bergabung, kasihan mereka tidak bisa melanjutkan (sekolah). Tujuan awal kan agar mereka bisa menjadi orang sukses di masa depan nanti," jelasnya.

Kini ada 4 kelas dengan 6 orang guru, termasuk Markamah yang menjadi kepala sekolah di tengah-tengah pabrik ini. Ada spanduk di salah satu dinding sekolah mengenai uang sekolah per bulan Rp 125 ribu.

Kenyataannya, sebagian besar murid yang merupakan anak-anak buruh pabrik itu lebih banyak yang membayar seikhlasnya. Bila ada yang membayar penuh pun, Markamah harus melakukan subsidi silang pada murid tak mampu lainnya.

Markamah juga memiliki toko kelontong atau warung jajan kecil-kecilan di salah satu sudut sekolah untuk para buruh itu. Dia juga memiliki pekerjaan sampingan lain, seperti menjadi penyalur tukang taman bila ada yang membutuhkan.

Hasilnya, untuk membantu operasional sekolah yang memberikan gaji Rp 300 ribu per bulan bagi guru-guru honorernya, selain untuk menghidupi keluarganya. Markamah, yang memiliki suami yang merupakan buruh pabrik, sudah memiliki 2 anak. Anak sulungnya (perempuan) kini sedang melanjutkan kuliah dan anak bungsunya (laki-laki) kini duduk di kelas 1 SMP.

Markamah dan keluarganya tinggal di ruangan berukuran 3x4 meter yang menempel pada sekolah yang diampunya.

"Harapannya saya ingin pemerintah dapat merelokasi sekolah beserta kampung di sini. Dibandingkan harus bertahan di tengah polusi asap," harap Markamah.